Sabtu, 10 Desember 2011

Dewa Penjaga Pintu

Kebiasaan menempel gambar Dewa Penjaga Pintu pada hari-hari Tahun Baru Imlek bermula pada Dinasti Han. Sejak masa Dinasti Tang, Jenderal Qin Shubao dan Yuchi Jingde yang mengabdi kepada Kaisar Li Shimin dikenal sebagai Dewa Penjaga Pintu.

Legenda mengatakan bahwa pada masa Dinasti Tang terdapat seorang peramal yang hebat dan sangat tepat dalam meramal, terutama dalam hal perikanan. Keahlian tersebut merisaukan Raja Naga yang menguasai Sungai Jing.


Pada awalnya Raja Naga ingin melenyapkan peramal tersebut, namun setelah mendapat nasehat sang Raja Naga berkeinginan mempermalukan sang peramal.
Maka Raja Naga yang naik ke darat dan menjelma menjadi manusia menemui peramal tersebut.
Raja Naga menantang sang peramal untuk meramal kapan jatuhnya hujan. Jika ramalan tepat akan diberi hadiah 50 keping perak. Jika salah, semua peralatan ramal yang dimiliki akan dihancurkan dan sang peramal tidak diperbolehkan meramal sepanjang hidupnya.

Sang peramal mengatakan bahwa besok akan hujan dan juga meramalkan besarnya hujan tersebut beserta waktunya.
Sang Raja Naga merasa kemenangan di depan mata karena semua urusan mendatangkan hujan adalah wewenangnya. Namun pada saat dia kembali, utusan Kaisar Langit datang membawa perintah agar Raja Naga menurunkan hujan, tepat seperti yang dikatakan oleh sang peramal.

Karena tidak ingin mengakui kekalahan, maka Raja Naga mengubah waktu dan jumlah hujan yang diturunkan.
Setelah menurunkan hujan, Raja Naga lalu menemui sang peramal dan mulai menghancurkan peralatan ramal yang ada. Raja Naga mengatakan bahwa ramalan yang diberikan tidak benar.

Dengan tenangnya sang peramal berkata bahwa sejak awal dia sudah mengetahui bahwa yang datang adalah Raja Naga. Dan Raja Naga, yang merubah waktu dan besar hujan yang diturunkan, membuat Kaisar Langit marah dan menjatuhkan hukuman mati kepada Raja Naga.
Raja Naga langsung tertegun mendengar hal itu. Akhirnya dia memohon agar sang peramal bersedia menyelamatkan dirinya.

Sang peramal mengatakan agar Raja Naga pergi meminta bantuan Kaisar Li Shimin agar terus menemani Perdana Menteri Wei He, yang diutus untuk membunuh Raja Naga, hingga tengah malam.
Sang Kaisar bersedia menemani Wei He bermain catur hingga larut malam. Dan membuat Wei He tertidur. Kaisar Li merasa Wei He tidak akan dapat melakukan tugasnya karena telah tertidur. Namun dalam tidurnya, Wei He mendatangi Raja Naga dan memberikan hukuman.

Arwah dari Raja Naga sangat marah dan menganggap Kaisar Li lalai sehingga dia terus mengganggu tidur sang kaisar setiap malam.

Dua orang jenderal, Qin Shubao dan Yuchi Jingde, yang melihat penderitaan sang kaisar bersedia menjaga semalam suntuk di depan kamar tidur kaisar agar kaisar dapat tidur nyenyak.
Dengan adanya dua orang jenderal tersebut, sang kaisar dapat tidur dengan tenang dan nyenyak.
Pada keesokan harinya sang kaisar sangat berterima kasih kepada dua jenderal tersebut. Namun dia menyadari bahwa tidak mungkin terus menerus meminta Jenderal Qin dan Yuchi agar terus berjaga setiap malam.

Akhirnya sang kaisar memiliki ide dengan menggambar kedua jenderal dan menempelkannya di depan pintu kamar.
Lama kelamaan kebiasaan kaisar ini tersebar luas dan menjadi sebuah kebiasaan di kalangan bangsa Tionghoa. Sehingga Jenderal Qin dan Yuchi dikenal sebagai Dewa Penjaga Pintu.

Lentera Fastival

Perayaan Lentera kadang dikenal sebagai Shang Yuan atau Xiao Guo Nian, Tahun Baru Kecil. Dirayakan 15 hari setelah Perayaan Tahun Baru Imlek, atau pada tanggal 15 bulan satu Imlek.
Bermula pada masa pemerintahan Kaisar Wu Di dari Dinasti Han. Di istana Wu Di tinggal seorang pembantu istana bernama Yuanxiao. Yuanxiao ingin menjenguk keluarganya, namun aturan istana melarang semua pembantu meninggalkan istana.

Beruntung Yuanxiao memiliki teman seorang menteri bernama Shuo Dongfang. Dia adalah seorang yang cerdik dan menetapkan dirinya untuk membantu pembantu yang tidak berdaya itu.

Shu berkata kepada kaisar bahwa Dewa Surga telah memerintahkan kepada Dewa Api untuk menghancurkan kota Changan pada tanggal 15 bulan 1 tahun Imlek. Dia berkata kepada Wu Di bahwa satu-satunya cara untuk menenangkan sang Dewa adalah dengan memberikan persembahan kembang api, membunyikan petasan dan mempertontonkan lentera-lentera berwarna merah. Untuk membuat persembahan memuaskan hati sang Dewa maka semua orang di kota harus turut ikut serta.
Dewa Api juga sangat menyukai kue nasi lengket, khususnya yang dibuat oleh Yuanxiao, yang mana dianjurkan oleh Shou agar dipersembahkan secara langsung. Beruntung, sang kaisar mempercayai kebohongan itu dan memerintahkan agar kota Changan mempersiapkan semuanya.
Pada hari yang ditentukan, penduduk kota menyalakan kembang api dan memasang lentera-lentera. Mereka bergembira ria sepanjang malam. Dan Yuanxiao mendapatkan kesempatan untuk meninggalkan istana dan mengunjungi keluarganya.
Sang Kaisar, yang sangat senang atas perayaan tersebut, memerintahkan agar perayaan yang sama dilakukan pada tahun berikutnya dan Yuanxiao diperintahkan untuk membuat kue nasi lengket.
Pada Perayaan Lentera Maka pada tanggal 15 bulan pertama tahun Imlek menjadi sebuah hari bagi perayaan besar sampai hari ini, merayakan bulan penuh pertama pada tahun yang baru dan berkumpulnya keluarga serta kehidupan yang bahagia.
Kue nasi lengket yang dimakan sampai saat ini dinamakan Yuan Xiao untuk mengingat pembantu istana tersebut.
Anda mungkin mengetahui bahwa pada beberapa lentera terdapat tulisan. Itu adalah Teka-Teki pada Lentera, juga dinamakan Singa Lentera karena menjawab teka-teki yang ada sama susahnya dengan menembak singa.
Tanyakan kepada teman-teman anda mengenai asal usul Perayaan Lentera dan Yuanxiao. Lalu perhatikan wajah mereka terkagum-kagum pada saat anda menceritakan asal-usul sebenarnya.

Asal usul adanya Ciam Sie dan persembahan pada Dewa

Pada jaman dahulu sudah banyak orang-orang yang datang ke klenteng mencari Guru-Guru agama untuk meminta bantuan atau pertolongan. Ada yang menanyakan nasib dan jodoh mereka, dan ada juga untuk penyembuhan penyakit-penyakit serta meminta obat-obatan.
Tetapi pada bulan bulan-bulan tertentu, para Guru itu tidak ada di klenteng karena mencari obat-obatan di hutan atau di pegunungan, seperti ginseng, jamur, dan lain-lainnya. Dalam pencarian obat ini dibutuhkan waktu berbulan-bulan lamanya.

Untuk itu para Guru membuat Ciam Sie supaya masyarakat atau orang-orang yang datang dari jauh tidak kecewa karena Gurunya tidak berada di tempat.
Masyarakat yang tertolong kemudian membawa oleh-oleh untuk Guru tersebut sebagai tanda terima kasih. Karena Guru-Guru tidak berada di tempat, maka diletakkan di atas meja sembahyang. Ada juga yang datang membawa persembahan kepada Dewa.
Dari sinilah timbulnya kebiasaan mempersembahkan sesuatu kepada Dewa. Pemberian persembahan kepada Dewa ini kemudian menimbulkan persaingan di antara masyarakat itu sendiri, sehingga timbullah persembahan Sam Seng.
Di mana menurut pandangan masyarakat waktu itu Sam Seng mewakili 3 jenis hewan di dunia, yaitu babi untuk hewan darat, ikan untuk hewan laut, dan ayam untuk hewan udara. Demikianlah persembahan ini berlangsung secara turun-menurun sampai sekarangpun masih ada.
Menurut anda, dapat dibenarkankah persembahan Sam Seng ini?
Sebenarnya Sam Seng tidak digunakan sebagai persembahan kepada Dewa.
Apa alasannya?
Mari kita pikirkan masing-masing.
Jadi cukup dengan buah-buahan saja, antara lain: apel, pear, jeruk, anggur, dll. Yang penting adalah buah-buahan yang segar dan tidak berduri serta serasi dipandang mata.
Demikianlah cerita asal usul adanya Ciam Sie dan persembahan pada Dewa, semoga bermanfaat.
Sumber: www.siutao.com

Tandu Pengantin

Tandu merupakan salah satu kendaraan yang sering digunakan pada jaman dahulu oleh orang-orang Tionghoa yang kaya, sedangkan yang kurang mampu biasanya naik keledai atau berjalan kaki.

Merupakan sebuah kebanggaan tersendiri jika naik tandu dibandingkan keledai yang seringkali ribut. Pada perayaan-perayaan tertentu, seperti pesta pernikahan, tandu digunakan untuk menghantar pengantin wanita ke rumah pengantin pria, baik oleh orang kaya maupun orang miskin.

Ada asal usul mengapa tandu digunakan pada pesta pernikahan.

Terdapat seorang kaisar bijaksana yang sering melakukan kunjungan ke berbagai daerah. Suatu saat sang kaisar dan para anak buahnya sedang berlalu di sebuah perbukitan, tiba-tiba pemandu memberi tahu bahwa iring-iringan akan terhalang oleh iring-iringan lain.

Maka sang kaisar keluar dari tandu untuk melihat apa yang sedang terjadi. Sebuah iring-iringan pernikahan penuh kegembiraan sedang berjalan dengan pengantin wanita mengendarai keledai. Melihat kejadian menggembirakan itu, sang kaisar turut bergembira.

Pada saat kedua rombongan bertemu , rombongan pengantin wanita yang tidak mengetahui bahwa rombongan didepan adalah rombongan kaisar, tidak bersedia mengalah, demikian pula rombongan sang kaisar.

Akhirnya sang kaisar menemukan sebuah ide, ia berkata kepada pengantin wanita, “Tidak hanya aku akan memberikan jalan kepadamu, aku juga akan meminjamkan tanduku jika kamu bisa membuat puisi saat ini juga.”Pengantin wanita lalu berpuisi, “Melihat rombonganmu, melihat rombonganku. Bukan masalah siapakah pemilik jalan ini. Melihat tandumu, melihat keledaiku. Tidak peduli manakah yang terbaik untuk pesta pernikahanku. Anda haruslah bermurah hati dengan meminjamkan tandu anda. Siapa dapat berkata bahwa saya adalah orang sederhana dan anda orang terhormat. Tidak ada perbedaan disini, hanya sekelompok orang yang ada.”

Sang kaisar sangat terkesan dengan puisi itu, sehingga ia meminjamkan tandunya. Adanya hal itu membuat pesta pernikahan yang ada menjadi semakin menarik perhatian orang ramai.
Sejak itu, setiap pesta pernikahan selalu menggunakan tandu, meskipun terkadang hanya sebuah tandu sederhana.

Meskipun saat ini sudah sangat jarang pesta pernikahan yang menggunakan tandu, namun tandu tetap digunakan pada perayaan-perayaan tradisional.

Cadar Merah pada Pengantin Wanita

Pada pesta pernikahan tradisional Tionghoa, pengantin wanita terlihat memakai cadar berwarna merah untuk menutupi muka. Cadar itu biasanya terbuat dari sutra.

Cadar Merah pada Pengantin Wanita Tradisi ini berasal dari masa Dinasti Utara dan Selatan. Dimana pada masa itu para petani wanita mengenakan kain pelindung kepala untuk perlindungan dari terpaan angin atau panasnya matahari ketika sedang bekerja di ladang. Kain itu dapat berwarna apa saja, yang penting mampu menutupi bagian atas kepala. Kebiasaan ini lambat laun menjadi sebuah tradisi.

Pada awal Dinasti Tang, kain tersebut menjadi sebuah cadar panjang hingga ke bahu. Dan tidak lagi hanya dipakai oleh petani wanita.

Pada saat pemerintahan Kaisar Li Jilong dari Dinasti Tang, ia membuat keputusan bahwa semua pembantu wanita istana yang masih dalam masa penantian harus mengenakan cadar untuk menutupi muka. Tidak lama kebiasaan tersebut menjadi sebuah tradisi.

Lama kelamaan kebiasaan memakai cadar itu diterapkan pada pesta pernikahan. Pemakaian cadar pada pengantin wanita dengan tujuan agar kecantikan pengantin wanita tidak menjadi perhatian lelaki lain, dan pengantin pria ingin agar pengantin wanita terlihat anggun.

Pengantin wanita menerima pemakaian cadar itu untuk menunjukkan kesetiaan kepada pengantin pria.
Sejak masa Lima Dinasti (Later Jin), pemakaian cadar menjadi sebuah keharusan pada setiap pesta pernikahan. Warna cadar itu selalu merah yang mewakili kebahagiaan.

Zhuge Liang

Nama Lengkap: Zhuge Kongming
Lahir: A.D. 181
Meninggal: A.D. 234
Saudara: Zhuge Jin, Zhuge Jun
Anak: Zhuge Zhan
Keponakan: Zhuge Ke
Seorang ahli strategi. Dikenal juga sebagai Kongming dan mempunyai julukan “Naga Tidur”. Zhuge Liang hidup tenang dan damai di Longzhong sampai saat Liu Bei berhasil menemuinya pada kunjungan ketiga. Terkesan oleh kejujuran Liu Bei dan memiliki kesamaan pandangan untuk mendirikan kerajaan di barat dan pada saat yang sama menjalin kerjasama dengan Kerajaan Wu, Zhuge Liang meninggalkan desanya untuk mengabdi kepada Liu Bei, yang merupakan titik balik bagi Liu Bei. Pada saat itu Zhuge Liang berusia 27 tahun, sedangkan Liu Bei 47 tahun.

Pada mulanya Guan Yu dan Zhang Fei tidak menerima keadaan bahwa mereka diperintah oleh seorang yang masih muda dan berpikir bagaimana mungkin Liu Bei percaya penuh kepada Zhuge Liang yang masih muda dan tidak berpengalaman sehingga memberikan komando tertinggi untuk melawan Xiahou Dun. Namun Zhuge Liang dapat menunjukkan strategi yang hebat dan mengetahui arah gerak musuh yang menghasilkan kemenangan mutlak atas Cao Cao pada tugas pertamanya dan membuktikan bahwa penilaian Guan Yu dan Zhang Fei salah.
Hanya saja serangan kedua dari Cao Cao terlalu tangguh untuk membuktikan kepandaian Zhuge Liang sehingga Liu Bei membawa penduduk Xinye mengungsi ke Xiangyang, namun dikejar oleh Liu Cong. Tidak memiliki pilihan, Zhuge Liang memimpin sejumlah kecil pasukan ke Jiangxia untuk meminta bantuan dari Liu Qi. Demi menjamin keselamatan Liu Bei atas serangan Cao Cao, Zhuge Liang menuju Kerajaan Wu membujuk Sun Quan untuk mengajak kerjasama dan melawan Cao Cao bersama-sama. Tentara Liu Bei dan Sun Quan dapat menghalau tentara Cao Cao, dan Liu Bei berhasil menguasai Jingzhou selama perang berlangsung.
Memiliki ide yang sama dengan Pang Tong bahwa Jingzhou tidak dapat dipertahankan untuk waktu lama, Zhuge Liang memilih tetap berada di Jingzhou sementara Liu Bei bersama Huang Zhong, Wei Yan, Pang Tong dan Guan Ping menuju ke Xichuan. Sayangnya kematian Pang Tong dan Liu Bei yang terjebak di Xichuan tidak memberikan pilihan bagi Zhuge Liang kecuali memimpin tentara ke Xichuan untuk menyelamatkan Liu Bei dan menguasai Xichuan.
Pada saat setelah Liu Bei meninggal dunia, Zhuge Liang berhasil menghalau tujuh serangan yang dilancarkan Cao Pi. Dengan adanya Zhuge Liang, Kerajaan Shu menjadi lebih makmur dan memiliki tentara yang lebih perkasa. Zhuge Liang berhasil memadamkan pemberontakan yang dilakukan oleh Meng Huo di bagian selatan Kerajaan Shu dan memimpin enam operasi melawan Kerajaan Wei untuk memenuhi keinginan Liu Bei demi mengembalikan kejayaan Dinasti Han.
Musuh utama Zhuge Liang adalah Sima Yi. Jika bukan karena Sima Yi, Zhuge Liang tentunya sudah berhasil menguasai Luoyang dan memenuhi keinginan Liu Bei untuk mengembalikan kejayaan Dinasti Han. Zhuge Liang yang bekerja terlalu keras dan penuh tekanan membawa dirinya sakit pada operasi penyerangan ke enam. Zhuge Liang meninggal dunia di Wuzhangyuan namun sebelum meninggal dia memilih Jiang Wei sebagai penerus. Kematian Zhuge Liang membawa kerugian besar bagi Kerajaan Shu.

Liu Bei

Raja dari Kerajaan Shu
Nama Lengkap: Liu Xuande
Lahir: A.D. 161
Meninggal: A.D. 223


Ayah: Pangeran Zhongshan Jing
Istri: Nyonya Gan, Nyonya Mi, Nyonya Sun
Anak: Liu Feng (diadopsi, A.D. 190), Liu Chan (A.D. 207), Liu Yong (A.D. 216), Liu Li (A.D. 217)
Cucu: Liu Chen (anak dari Liu Chan, A.D. 227)
Seorang penerus dari Pangeran Zhongshan Jing. Liu Bei adalah seorang penenun jerami sebelum kemunculan Pemberontakan Selendang Kuning. Dia bertemu dengan Guan Yu dan Zhang Fei, lalu mereka mengangkat saudara di Taman Peach dan bersumpah untuk menggabungkan kekuatan demi mengembalikan kedamaian dan ketentraman.

Liu Bei mencatat keberhasilan dalam peperangan melawan Pemberontakan Selendang Kuning, namun dia tidak berhasil membangun kekuatan lebih lanjut. Serangkaian kekalahan dan tragedi membuat Liu Bei harus berlindung dibawah Cao Cao, Yuan Shao, kemudian Liu Biao.
Meskipun Liu Bei bertekad mengembalikan kedamaian dan ketentraman di seluruh negeri, namun dia dikecewakan oleh kekalahan-kekalahan yang dialami. Saat itu Liu Bei sudah berumur sekitar 40 tahun dan hanya sedikit sekali yang telah dicapai. Terutama jika dibandingkan dengan kemajuan yang dialami oleh Cao Cao dan Sun Ce. Cao Cao sudah menguasai seluruh daratan bagian utara dan Sun Ce menguasai daerah di sebelah selatan Sungai Yangtze (Chang Jiang), padahal Liu Bei masih mencari perlindungan dibawah Liu Biao.
Titik balik Liu Bei adalah saat dia bertemu dengan Xu Shu dan mendapatkan nasehat militer dari Xu Shu. Takjub karena kekalahan Cao Ren oleh Xu Shu, maka Cao Cao setuju menjalankan usul dari Cheng Yu untuk menarik Xu Shu ke pihak Cao Cao, dan berhasil. Sebelum Xu Shu pergi, Xu Shu berkata kepada Liu Bei mengenai Zhuge Liang dan Pang Tong.
Dengan ketulusan dan bujukan Liu Bei, Zhuge Liang bersedia meninggalkan pertapaan untuk mendampingi Liu Bei. Kejadian ini merupakan awal dari kemajuan pesat yang akan dialami Liu Bei di kemudian hari. Liu Bei berhasil melarikan diri ke Jiang Xia setelah tentara Cao Cao berusaha menaklukkan daerah selatan. Liu Bei berhasil menguasai Jingzhou setelah Kerajaan Wu mengalahkan tentara Cao Cao.
Diberi nasehat oleh Zhuge Liang dan Pang Tong bahwa Jingzhou tidak bisa dipertahankan secara lama karena adanya kemungkinan besar serangan dari negara lainnya, meskipun memiliki keunggulan tersendiri, Liu Bei tidak bersedia melepas Jingzhou. Namun Liu Bei berusaha mengamankan jalan belakang dari Jingzhou dengan menyerang Terusan Jiameng. Peperangan tidak berlangsung baik bagi pihak Liu Bei dan beruntung Zhuge Liang datang membawa tentara bantuan untuk menyelamatkan Liu Bei dengan meninggalkan Guan Yu di Jingzhou. Kekuatan gabungan ini akhirnya berhasil menaklukkan Yizhou dan Chengdu. Selama peperangan itulah Ma Chao bergabung dengan pihak Liu Bei.
Waspada karena kesuksesan Liu Bei menguasai Yizhou dan Chengdu, Cao Cao melancarkan serangan ke daerah kekuasaan Zhang Lu di Hanzhong untuk memberikan jalan bagi Cao Cao memusnahkan Liu Bei. Penaklukkan Hanzhong mencemaskan Liu Bei, karena daerah itu merupakan pintu gerbang untuk masuk ke wilayah kekuasaannya. Persiapan segera dilakukan dan penyerangan Liu Bei ke Hanzhong menyebabkan Hanzhong berpindah tangan dari Cao Cao ke Liu Bei. Kejadian ini membuat Liu Bei semakin kokoh karena Hanzhong dan Shu berada dalam kekuasaannya.
Namun masa kemenangan itu hanya sebentar, Cao Cao dan Sun Quan bergabung untuk menyerang Jingzhou yang dikawal oleh Guan Yu. Jingzhou lalu jatuh dibawah tekanan dua kekuatan besar, dan menyebabkan Guan Yu beserta anak angkatnya, Guan Ping, tertangkap dan dijatuhi hukuman mati.
Kematian Guan Yu membuat Liu Bei marah besar dan melancarkan serangan terhadap Kerajaan Wu. Serangan itu awalnya berhasil dengan baik, namun semuanya berubah setelah Wu mengangkat Lu Xun sebagai Panglima Perang.
Liu Bei berhasil melarikan diri ke Baidicheng. Namun penderitaan hebat membuatnya jatuh sakit, dan tidak berhasil sembuh sehingga merenggut nyawa Liu Bei. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Liu Bei menyerahkan takhta ke anaknya, Liu Chan, dengan kendali di tangan Zhuge Liang, dan menyuruh anaknya menganggap Zhuge Liang sebagai ayah.

Zhang Fei

Nama Lengkap: Zhang Yide
Lahir: A.D. 167
Meninggal: A.D. 221
Anak: Zhang Bao (A.D. 192), Zhang Shao (A.D. 198)

Temple Zhang Fei

Pada awalnya Zhang Fei adalah seorang pemotong daging sebelum mengangkat saudara dengan Liu Bei dan Guan Yu. Berbicara dengan jujur dan keinginan menolong yang lemah dan tertindas tanpa berpikir panjang membuat Zhang Fei menghukum pengawas kerajaan yang sedang datang mengawasi daerah yang didapat Liu Bei sebagai hadiah atas peran Liu Bei dalam membasmi Pemberontakan Selendang Kuning sebelum Liu Bei dan Guan Yu datang menghentikan. Perlakuan buruk Zhang Fei terhadap pengawas kerajaan membuat Liu Bei meletakkan jabatan dan menjadi buronan pihak kerajaan.

Kebiasaan mabuk membawanya kehilangan Xuzhou ketika Zhang Fei memukuli Cao Bao yang kemudian membalas dendam dengan membujuk Lu Bu untuk melancarkan serangan mendadak ke Xuzhou ketika Zhang Fei sedang mabuk.
Dengan tidak melihat kekurangan yang ada, keberanian dan keahlian Zhang Fei sangat bagus dan hanya segelintir saja yang bisa menyainginya. Ketika Liu Bei dan para anak buahnya mengungsikan penduduk Jiangling, Zhang Fei berhasil memberikan mereka nafas sambungan terhadap serangan Cao Cao dengan menakuti tentara Cao Cao pada Jembatan Changban.
Pada saat mempertahankan Terusan Jiameng, Zhang Fei bertempur dengan Ma Chao selama dua hari tanpa ada tanda siapa yang menang. Pertarungan antara dua orang berkeahlian tinggi ini membuat kagum Liu Bei dan Zhuge Liang dan membawa Zhuge Liang untuk membujuk Ma Chao agar bersedia bergabung dengan Liu Bei.
Zhang Fei ditikam sampai meninggal ketika sedang tidur oleh Fan Jiang dan Zhang Da, anak buahnya. Larut karena keinginan membalas dendam saudara angkatnya, Guan Yu, Zhang Fei memerintahkan suatu hal yang tidak masuk akal kepada Fan Jiang dan Zhang Da dalam waktu yang sangat singkat. Fan Jiang dan Zhang Da meminta waktu tambahan namun mendapat perlakuan buruk dengan diikat di pohon dan dicambuk. Karena tugas yang mustahil dan perlakuan buruk yang diterima, Fan Jiang dan Zhang Da membunuh Zhang Fei ketika Zhang Fei mabuk dan sedang tertidur.

Guan Yu

Nama Lengkap: Guan Yunchang
Lahir: A.D. 162
Meninggal: A.D. 219


Anak: Guan Ping (anak angkat, A.D. 182), Guan Xing (A.D. 193), Guan Suo (A.D. 194)
Cucu: Guan Tong (anak dari Guan Xing, A.D. 224), Guan Yi (anak dari Guan Xing, A.D. 226)
Ketua dari Lima Harimau Kerajaan Shu. Memiliki kesamaan dalam pandangan dan keinginan memulihkan keadaan, Guan Yu mengangkat saudara dengan Liu Bei dan Zhang Fei. Liu Bei sebagai saudara tertua, Guan Yu saudara nomor dua, sedangkan Zhang Fei menjadi saudara termuda.
Selama masa Pemberontakan Selendang Kuning, Guan Yu bersama-sama Liu Bei dan Zhang Fei saling bahu membahu.

Kemudian pada saat Liu Bei memerintah di Xuzhou, Cao Cao melancarkan serangan dan Liu Bei beserta Zhang Fei memimpin pasukan untuk melancarkan serangan tiba-tiba namun tidak berhasil. Guan Yu yang mempertahankan kota berusaha untuk menyelamatkan kedua saudaranya karena dia sangat risau dan tidak mendapat kabar berita.
Guan Yu masuk dalam jebakan Cao Cao dengan meninggalkan kota, sehingga kota dapat dengan mudah dikuasai ketika Guan Yu tidak ada. Dengan istri Liu Bei yang masih berada di kota ketika kota jatuh ke tangan Cao Cao, Guan Yu merasa telah mengecewakan saudaranya dan ingin melakukan bunuh diri, namun berhasil dibujuk oleh Zhang Liao, salah seorang jenderal Cao Cao. Untuk menyelamatkan istri Liu Bei, Guan Yu bersedia menyerah kepada Cao Cao sementara waktu sampai dia mendapat kabar tentang Liu Bei.
Sejak dikalahkan oleh Cao Cao, Liu Bei berlindung dibawah Yuan Shao dan akhirnya berhasil membujuk Yuan Shao untuk menyerang Cao Cao. Meskipun memiliki jumlah pasukan yang tidak seimbang, Cao Cao tetap memimpin tentara untuk menghadapi Yuan Shao.
Meskipun pada awalnya Cao Cao tidak memberikan ijin kepada Guan Yu untuk maju bertempur, karena takut Guan Yu akan meninggalkan dirinya setelah memberikan kemenangan. Akhirnya Guan Yu diijinkan maju bertempur dan berhasil membunuh dua jenderal andalan Yuan Shao, Yan Liang dan Wen Chou.
Bersama dengan kemenangan yang diraih dan pengembalian hadiah yang telah diberikan Cao Cao, Guan Yu setelah mendapat kabar tentang Liu Bei memulai perjalanan panjang untuk mengawal istri Liu Bei agar dapat bersatu kembali dengan Liu Bei. Dalam perjalanan ini, Guan Yu membunuh beberapa jenderal Cao Cao yang menghalangi dirinya meneruskan perjalanan.
Pada masa pertempuran di Chibi, Zhuge Liang menugaskan Guan Yu menangkap Cao Cao pada saat melarikan diri. Adalah hal yang sangat mudah untuk menangkap Cao Cao, namun Guan Yu teringat akan perlakuan baik Cao Cao yang didapatnya pada saat dirinya dibawah Cao Cao, sehingga mengijinkan Cao Cao pergi. Malu terhadap dirinya, ketika pulang ke markas dia ingin bunuh diri, namun diberikan satu kesempatan untuk menebus kesalahan dengan menguasai Xiangyang.
Zhuge Liang dan Liu Bei mempercayakan Jingzhou kepada Guan Yu ketika mereka pergi untuk menguasai Xichuan. Dengan Cao Cao yang berada di utara dan Sun Quan di timur, mempertahankan Jingzhou bukanlah hal yang mudah. Meskipun Guan Yu berhasil menghalau serangan Cao Cao, Jingzhou jatuh ke tangan Sun Quan ketika Guan Yu maju bertempur melawan Cao Cao.
Dipaksa oleh pasukan yang tercerai berai dan luka yang dialami, Guan Yu dan anaknya, Guan Ping, bersama tentara yang setia melarikan diri ke Maicheng. Bala bantuan dari Chengdu mengambil waktu yang lama dan membuat Guan Yu tidak sabar. Bersama Guan Ping, Guan Yu berusaha menerobos kepungan musuh untuk kembali ke Chengdu. Mereka berdua tertangkap oleh serangan tiba-tiba sesaat setelah meninggalkan Maicheng. Guan Yu menolak untuk menyerah sehingga dia bersama anaknya dihukum mati.